NEWS
Dark Mode
Large text article

Gonta Ganti Layanan Mobile BSI, Ketua FPMPA : Jangan Sampai Rakyat Sebut Bank Susah Indonesia

Banda Aceh - Kejadian gonta-ganti sistem pelayanan mobile BSI dari BSI mobile ke BYOND menunjukkan bahwa bank tersebut tidak mampu menghadirkan sebuah sistem yang bagus dan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga terkesan bahwa bank yang  berdiri pada tanggal 1 Februari 2021 lalu melalui penggabungan Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah itu tak lebih dari bank uji coba yang dipaksakan padahal belum siap untuk menghadirkan layanan prima bagi masyarakat.

"Proses migrasi BSI mobile dari ke beyond ini menunjukkan bahwa bank ini masih dalam kondisi uji coba sistem, dampaknya lagi-lagi menambah beban dan polemik baru kepada masyarakat sebagai nasabah. Ironisnya ketika dipaksakan agar nasabah dapat melakukan migrasi total dengan menutup layanan BSI mobile namun BSI tidak memberikan layanan migrasi yang mudah dan praktis sehingga menghadirkan persoalan baru di tengah masyarakat, sehingga dapat dikatakan hal itu bukan mempermudah tapi justru menambah masalah," ungkap Ketua Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) Muhammad Jasdi, Senin 10 Februari 2025.

Pria yang akrab disapa Jhon Jasdi itu menerangkan, dalam proses migrasi dari aplikasi BSI mobile ke Beyond, pihak BSI masih mengharuskan mengisi form nomor kartu debit dan tanggal kadaluarsa kartu debit agar bisa menggunakan aplikasi beyond tersebut. 

Kata Jhon Jasdi, rata-rata masyarakat yang telah menggunakan BSI Mobile tak lagi memiliki kartu debit dalam transaksi, sementara pada kondisi tersebut pihak BSI hanya bisa menyarankan masyarakat atau nasabah ke kantor BSI terdekat. Hal ini menunjukkan bahwa proses migrasi data tersebut belum dapat dilakukan oleh BSI dengan cara yang lebih praktis, namun nasabah dipaksakan untuk tetap melakukan migrasi. "Seharusnya, proses migrasi tersebut dapat dilakukan lebih mudah, jika memang kehadiran aplikasi baru beyond tersebut bertujuan untuk mempermudah nasabah. Misalkan, nasabah cukup masukkan nomor hp dan nomor kartu identitas maka data yang langsung terintegrasi ke aplikasi yang baru tanpa harus dipersulit dan form yang terlalu berbelit," ujarnya.

Jhon Jasdi mencontohkan, misalnya ada nasabah pengguna BSI mobile yang belum migrasi ke beyond membutuhkan layanan transaksi mendesak apakah karena kebutuhan membeli obat, dan lain-lain yang harus dilakukan sesegera mungkin. Sementara, aplikasi BSI mobile tersebut tidak lagi bisa digunakan, namun untuk melakukan migrasi ke Beyond juga tidak bisa dilakukan karena nasabah tersebut sudah lama tidak memiliki kartu debit. Lalu, apa yang terjadi, tentunya nasabah tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan transaksi mendesaknya dan akan sangat-sangat dirugikan oleh kebijakan BSI tersebut. "Makanya kami katakan, jangan sampai rakyat sebut BSI itu Bank Susah Indonesia, karena sejak awal kehadirannya terus menghadirkan polemik yang menyusahkan rakyat," sebutnya.

Jhon Jasdi meyakini bahwa pergantian aplikasi yang dilakukan oleh BSI tersebut bukan semata-mata untuk memperbaiki dan memaksimalkan sistem layanan, namun bisa saja ada persoalan serius lainnya berkaitan dengan sistem di perbankan tersebut. "Kalau  untuk menambah layanan agar maksimal, maka tentunya tak perlu migrasi segala, cukup dengan menambah fitur atau update layanan. Kita khawatir bank yang hadir dengan cara coba-coba ini memang kebijakannya pun coba-coba, dan masyarakat sebagai nasabah dijadikan objek coba-cobanya. Padahal, juga tidak menjamin bahwa ketika aplikasi mobilenya Beyond maka sistem layanan ke depannya akan maksimal tanpa gangguan dalam waktu yang lama," tambahnya.

Tak hanya itu, Jhon Jasdi juga menyebutkan, khususnya di Aceh polemik pelayanan BSI yang berulang kali terjadi hingga pemaksaan migrasi yang menyulitkan nasabah/masyarakat justru bisa berimbas kepada citra perbankan syariah, padahal bank berbasis syariah itu bukan BSI saja. Namun, Aceh khususnya seakan menjadi lahan ujicoba BSI dalam eksperimen sistem perbankannya itu karena tak ada bank syariah lain yang hadir sebagai pesaing dalam merebut hati rakyat atau nasabah."Jangan sampai Aceh khususnya jadi kelinci uji coba sistem perbankan yang belum matang tersebut," katanya.

Dia menilai, melihat situasi pelayanan BSI yang sejak awal memang tak siap dan kerap berpolemik seperti saat ini, maka Pemerintah khususnya di Aceh tak perlu memberikan karpet merah kepada BSI untuk mendominasi perbankan di Aceh. "Disini yang selama ini jadi persoalan BSI, namun dikarenakan karpet merah yang diberikan pemerintah khususnya di Aceh membuat BSI terlalu dominan. Untuk itu, pemerintah di Aceh harus berpikir bagaimana perbankan-perbankan syariah lainnya diberikan kemudahan beroperasi di Aceh sehingga dapat mendirikan cabang-cabang hingga cabang pembantu ke seluruh daerah di Aceh demi memudahkan masyarakat memilih layanan perbankan yang dianggap lebih baik dalam sistem pelayanannya,"tambahnya.

Jhon jasdi juga menilai, kejadian BSI yang terus berpolemik layanannya sejak awal kehadirannya itu juga seharusnya menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk memaksimalkan peranan bank milik daerah ataupun BPRS, tentunya dengan menghadirkan sistem layanan yang lebih bagus sebagai solusi bagi masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan. "Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memaksimalkan layanan perbankan syariah lokal, BPR dan lembaga keuangan lokal lainnya sebagai solusi untuk memoptimalkan pelayanan transaksi keuangan masyarakat. Jadi, pemerintah perlu menyiapkan itu jangan sampai ketika layanan BSI bermasalah seperti saat ini masyarakat justru semakin susah. Jima tidak dilakukan maka nanti ke depan setiap terjadi masalah dalam sistem perputaran ekonomi Aceh akan turut terguncang," demikian tegas Jhon Jasdi.
Post a Comment